Rabu, 10 Juni 2015

Tugas 2 (Hukum Industri)

Hak Merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau member izin kepada sesorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakan (Pasal 3 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan lain sebagainya) pada barang-barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal, cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya. Pengertian merek juga dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Merek adalah tanda yang berupa gambar nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi bukan jenis produk itu sendiri. Merek hanya menimbulkan kepuasaan saja bagi pembeli, benda materilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik, inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.
(Sumber: Gautama, Sudargo. 1993. Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. dan http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-413-bab3.pdf).

Undang-Undang Merek Tahun 2001 juga mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 adalah merek dagang dan merek jasa. Jenis merek lainnya dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan wujudnya, antara lain merek lukisan (bell mark), merek kata (world mark), merek bentuk (form mark), merek bunyi-bunyian (klank mark), dan merek judul (title mark). Sama halnya dengan hak cipta dan paten serta hak atas kekayaan intelektual lainnya, maka hak merek juga merupakan bagian dari hak atas intelektual. Khusus mengenai hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderans UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UUM 2001), yang berbunyi: “Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratafikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dlam menjaga persaingan usaha yang sehat.” Hak merek diperoleh melalui prosedur pendaftaran. Jadi disini ditekankan bahwa hak atas merek tercipta karena pendaftaran dan bukan karena pemakaian pertama. Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 dalam pendaftarannya menganut sistem konstitutif. Sistem konstitutif yaitu pihak yang mendaftarkan pertamalah yang berhak atas merek dan pihak tersebut yang secara eksklusif dapat memakai merek tersebut. Artinya, hak ekslusif atas sesuatu merek diberikan karena adanya pendaftaran. Penggunaan sistem konstitutif di Indonesia dimulai pada tanggal 1992 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. Sistem tersebut diambil dari Konvensi Stockholm 1967, yang diratifikasi oleh Indonesia pada 20 Desember 1979. Tujuan penggunaan sistem konstitutif yaitu untuk memperkecil terjadinya perselisihan atas merek antara pemakai merek yang tidak terdaftar dan pemilik merek yang sudah terdaftar. Hal tersebut disebabkan sistem konstitutif lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan sistem deklaratif. Sistem deklaratif yang mendasarkan pada perlindungan hukum bagi mereka yang menggunakan merek lebih dahulu, selain kurang menjamin kepastian hukum juga menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha yang akan dijalankan.
(Sumber: Gautama, Sudargo. 1993. Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. dan http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-413-bab3.pdf).

Negara dikatakan maju diperhatikan dari sektor perindustrian, Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang bertumbuh dalam sektor perindustrian. Pertumbuhan industri di Indonesia dimulai pada tahun 1967, sedangkan industri-industri sebelum periode tersebut merupakan warisan zaman penjajahan. Pembangunan industri di Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Latar belakang pembangunan industri adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu ada upaya memproduksi besar-besaran kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar masyarakat harus dipenuhi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Tujuan pembangunan nasional ialah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya. Mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional memerlukan perangkat hukum yang secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan perindustrian dalam arti yang seluas-luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri. Pemerintah telah menghasilkan suatu produk hukum yang khusus mengatur hal-hal mengenai sangkut paut dengan industri, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian.
(Sumber: Ginting, Perdana. 2009. Perkembangan Industri Indonesia Menuju Negara Industri. Bandung: Yrama Widya. dan http://e-journal.uajy.ac.id/3147/2/1HK08774.pdf).

Pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Pasal 7, yaitu Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pemgembangan terhadap industri, untuk:
1.  Mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;
2. Mengembangankan persaingan yang lebih baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
3. Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Pasal 7 tersebut, dapat diketahui bahwa pengaturan kewenangan perindustrian untuk melakukan perwujudan masyarakat adil makmur secara merata. Hal tersebut berguna mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Pemerintah melakukan beberapa kegiatan untuk mendorong laju perkembangan perekonomian nasional dan pertumbuhan laju industri merupakan andalan pemerintah, serta cara untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

        Sebelum adanya konvensi internasional dibidang properti industri, individu dan negara sulit untuk memperoleh perlindungan hak kekayaan industri karena beragamnya hukum antara satu negara dengan negara lain. Aplikasi paten harus dibuat pada waktu yang sama disemua negara untuk menghindari publikasi disatu negara. Hal tersebut justru menjadi kontraproduktif dan menghancurkan penemuan baru dinegara-negara lain. Masalah-masalah praktis menciptakan gagasan dan keinginan yang kuat untuk mengatasi kesulitan tersebut. Konvensi Internasional mengenai hak cipta dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak cipta dengan kepastian hukum secara internasional, dalam hal ini untuk mengambil jalan tengah dari bergamnya aturan atau hukum hak cipta dari berbagai negara. Bahasan mengenai perlindungan hukum hak cipta dimulai dari abad 18 yang saat itu masih memperjuangkan hak kekayaan intelektual. Keinginan yang kuat tersebut yang kemudian melahirkan konvensi Paris dimana sejumlah ketentuan yang terkait dengan hak kekayaan intelektual mulai diatur. Konvensi Paris melahirkan beberapa konvensi internasional lainnya yang lebih spesifik mengenai perlindungan hak cipta. Konvensi hak cipta secara internasional terdiri dari beberapa konvensi yaitu Berne Convention, Universal Copyright Convention,  Konvensi Roma 1961 (International Convention for the Protection of the Performers producers of Phonograms and Broadcasting Organization) yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang berkecimpung dalam kegiatan pertunjukan, perekaman, dan badan penyiaran, Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication of their Phonograms pada tahun 1971, serta Brussels Convention Related to the Distribution of Programme Carrying Signals Transmitted by Satellite pada tahun 1974.

Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) adalah perjanjian internasional tertua tentang Hak cipta yang dibentuk pada tanggal 9 September 1886, dan telah berulang kali mengalami revisi. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Berne pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 Juli 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 dan revisi terakhir di paris pada tanggal 24 juli 1971. Terdapat sepuluh negara peserta asli dan diawali dengan tujuh negara (Denmark, Japan, Luxemburg, Monaco, Montenegro, Norway, Sweden) yang menjadi peserta dengan aksesi menandatangani naskah asli Berne Convention. Peserta perjanjian internasional ini sampai tahun 2006 mencapai 155 negara, termasuk Amerika Serikat yang menjadi anggota perjanjian internasional ini untuk pertama kalinya pada tahun 1989. Konvensi ini lahir karena pada akhir tahun 1900 an, karya-karya hak cipta secara bertahap telah menjadi elemen penting dalam perdagangan internasional. Revolusi industri dan proses produksi massal yang mulai berkembang menjadikan perlindungan hak cipta transnasional menjadi wacana serius. Konvensi Berne mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah yang ikut menandatangani adalah warga negaranya sendiri. Hak cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran secara eksplisit.

Universal Copyright Convention (UCC) merupakan salah satu konvensi hak cipta yang lahir karena adanya gagasan dari peserta Berne Convention dan Amerika Serikat yang didukung oleh PBB khususnya UNESCO, dalam rangka menyatukan satu sistem hukum hak cipta secara universal. Universal Copyright Convention (UCC)  dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1952, mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955, dan mengalami revisi di Paris pada tanggal 24 Juli 1971. Berne covention terdiri dari 21 Pasal dan dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengatur mengenai perlindungan ciptaan terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan dan pelarian. Secara internasional, hak cipta terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan dan pelarian, perlu dilindungi. Hal tersebut beguna untuk mendorong aktivitas dan kreativitas pada pencipta, tidak terkecuali terhadap orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau pelarian sehingga tetap mendapatkan kepastian hukum. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya-karya daripada organisasi internasional tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara harmonis. Inilah yang menjadi dasar dirumuskannya konvensi ini yang merupakan usaha dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Protokol III berkenaan dengan cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan cara bersyarat. Perlu diketahui bahwa standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel daripada yang ditentukan oleh Berne Convention. Ketentuan yang monumental dari Konvensi Universal adalah adanya ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin dilindungi harus mencantumkan tanda C dalam lingkaran seperti ini ©, disertai nama penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbol tersebut menunjukkan bahwa karya tersebut telah dilindungi dengan hak cipta negara asalnya, dan telah terdaftar dibawah perlindungan hak cipta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar