Rabu, 10 Juni 2015

Tulisan (Hukum Industri)

PEMBAJAKAN/PEMALSUAN SOFTWARE
=
PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Ilustrasi Pembajak Software
Hampir setengah dari pengguna PC di dunia menggunakan produk software bajakan, dalam hal ini jumlah penggunaan software bajakan tersebut semakin besar di negara-negara berkembang. Menurut pihak Business Software Alliance (BSA), biasanya pengguna membeli software orisinil dengan lisensi tunggal untuk kemudian menginstallnya pada PC lainnya, atau mengunduhnya secara ilegal melalui jaringan peer-to-peer. Software bajakan juga dapat dijumpai di mal atau pasar, dalam bentuk vcd/dvd dengan harga sekitar Rp. 25.000. Tentu banyak yang berpikiran sangat mudah mendapatkan software bajakan dengan harga lebih murah bahkan gratis, di saat software original harganya sangat mahal. Saat yang sama juga, pihak-pihak yang membeli software bajakan melakukan tindakan yang tidak mengapresiasikan hasil kerja keras pembuat software original dan tidak mengetahui beratnya sanksi hukum yang akan diterima.
Tahun 2012 dalam siaran pers United States Trade Representative disebutkan bahwa Indonesia berada bersama 12 negara lain dalam priority watch list, peringkat tertinggi pelanggaran hak cipta yang paling diawasi. Negara lain yang masuk daftar ini adalah Aljazair, Argentina, Kanada, Ciles, Cina, India, Israel, Pakistan, Rusia, Thailand, Ukraina, dan Venezuela. Indonesia dinilai melakukan banyak kemajuan dalam perlindungan hak cipta dan sejumlah pelaku usaha mengakui adanya upaya pemerintah dalam memerangi pembajakan dan pemalsuan. Namun, pihak Amerika Serikat menilai upaya itu belum efektif, karena masih maraknya tindak kejahatan hak cipta, termasuk melalui internet. Negara yang paling sering menghuni daftar priority watch list adalah Rusia, yaitu 16 tahun berturut-turut dan China telah delapan tahun berturut-turut.
Pelanggaran hak cipta dan pemalsuan yang termasuk hak kekayaan intelektual tentu mengakibatkan banyak kerugian. Kerugian tersebutlah yang dialami pengusaha dan pemerintah di seluruh dunia akibat pembajakan dan pemalsuan bisa mencapai US$ 1 triliun (Rp 9.500 triliun) setahun. Jumlah itu belum termasuk kerugian yang diderita masyarakat pekerja, karena dua juta lapangan pekerjaan ikut musnah akibat telah terpublikasinya hasil bajakan seperti software-software. Telah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) dalam memberantas kasus pelanggaran hak cipta ini, namun tetap saja masih marak dan pihak-pihak yang melakukan pembajakan dan pemalsuan juga terus bertambah. Padahal Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap pembajakan dan pemalsuan didukung oleh enam Undang-Undang, di antaranya mengatur masalah paten, desain industri, sampai varietas tanaman. Namun, tetap saja pembajakan masih marak. Hal tersebut bukan lagi persoalan dan kerja keras pemerintah Indonesia sendiri, melainkan kerja sama dari berbagai pihak, baik lembaga internasional dan masyarakat Indonesia sendiri tanpa terkecuali untuk menyadarkan dan melaporkan pihak-pihak yang melakukan pembajakan dan pemalsuan seperti software-software bajakan.
Software gratis (software bajakan) memang tidak memiliki kemampuan yang maksimal dibandingkan dengan software berbayar. Fitur-fitur didalamnya juga tidak selengkap software berbayar yang lebih profesional. Namun perlu digaris bawahi, menggunakan software bajakan adalah suatu tindakan yang illegal. Menggunakan software bajakan sama artinya menjadi seorang penjahat dan ikut mendukung berkembangnya kejahatan dibidang pembajakan. Salah satu resiko yang paling besar adalah berhadapan dengan pihak berwajib terutama pihak pelindung hak cipta. Apabila tertangkap menggunakan software bajakan untuk tujuan bisnis, saat itu juga akan dijerat undang-undang perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), yaitu dipenjara dan didenda uang ratusan juta saat tertangkap menggunakan software bajakan ini.

Hukum industri berperan penting dalam memberantas pihak-pihak yang melanggar batas-batas dari keseluruhan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Berikut beberapa Undang-Undang yang mengatur sanksi bagi pelanggar hak atas kekayaan intelektual seperti pembajakan dan pemalsuan software.
1.    Pasal 27 UU ITE Tahun 2008:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Diatur pula dalam KUHP pasal 282 mengenai kejahatan terhadap kesusilaan.
2.    Pasal 28 UU ITE Tahun 2008:
Setiap orang yang sengaja tanpa hak menyebarkan dengan bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
3.    Pasal 29 UU ITE Tahun 2008:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Cyber Stalking). Ancaman pidana 45(3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (Dua milyar rupiah).
4.    Pasal 30 UU ITE Tahun 2008 ayat 3:       
Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengaman (cracking, hacking, illegal access). Ancaman pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


Referensi Tulisan:

Tugas 2 (Hukum Industri)

Hak Merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau member izin kepada sesorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakan (Pasal 3 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan lain sebagainya) pada barang-barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal, cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya. Pengertian merek juga dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Merek adalah tanda yang berupa gambar nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi bukan jenis produk itu sendiri. Merek hanya menimbulkan kepuasaan saja bagi pembeli, benda materilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik, inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.
(Sumber: Gautama, Sudargo. 1993. Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. dan http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-413-bab3.pdf).

Undang-Undang Merek Tahun 2001 juga mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 adalah merek dagang dan merek jasa. Jenis merek lainnya dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan wujudnya, antara lain merek lukisan (bell mark), merek kata (world mark), merek bentuk (form mark), merek bunyi-bunyian (klank mark), dan merek judul (title mark). Sama halnya dengan hak cipta dan paten serta hak atas kekayaan intelektual lainnya, maka hak merek juga merupakan bagian dari hak atas intelektual. Khusus mengenai hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderans UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UUM 2001), yang berbunyi: “Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratafikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dlam menjaga persaingan usaha yang sehat.” Hak merek diperoleh melalui prosedur pendaftaran. Jadi disini ditekankan bahwa hak atas merek tercipta karena pendaftaran dan bukan karena pemakaian pertama. Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 dalam pendaftarannya menganut sistem konstitutif. Sistem konstitutif yaitu pihak yang mendaftarkan pertamalah yang berhak atas merek dan pihak tersebut yang secara eksklusif dapat memakai merek tersebut. Artinya, hak ekslusif atas sesuatu merek diberikan karena adanya pendaftaran. Penggunaan sistem konstitutif di Indonesia dimulai pada tanggal 1992 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. Sistem tersebut diambil dari Konvensi Stockholm 1967, yang diratifikasi oleh Indonesia pada 20 Desember 1979. Tujuan penggunaan sistem konstitutif yaitu untuk memperkecil terjadinya perselisihan atas merek antara pemakai merek yang tidak terdaftar dan pemilik merek yang sudah terdaftar. Hal tersebut disebabkan sistem konstitutif lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan sistem deklaratif. Sistem deklaratif yang mendasarkan pada perlindungan hukum bagi mereka yang menggunakan merek lebih dahulu, selain kurang menjamin kepastian hukum juga menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha yang akan dijalankan.
(Sumber: Gautama, Sudargo. 1993. Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. dan http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-413-bab3.pdf).

Negara dikatakan maju diperhatikan dari sektor perindustrian, Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang bertumbuh dalam sektor perindustrian. Pertumbuhan industri di Indonesia dimulai pada tahun 1967, sedangkan industri-industri sebelum periode tersebut merupakan warisan zaman penjajahan. Pembangunan industri di Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Latar belakang pembangunan industri adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu ada upaya memproduksi besar-besaran kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar masyarakat harus dipenuhi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Tujuan pembangunan nasional ialah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya. Mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional memerlukan perangkat hukum yang secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan perindustrian dalam arti yang seluas-luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri. Pemerintah telah menghasilkan suatu produk hukum yang khusus mengatur hal-hal mengenai sangkut paut dengan industri, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian.
(Sumber: Ginting, Perdana. 2009. Perkembangan Industri Indonesia Menuju Negara Industri. Bandung: Yrama Widya. dan http://e-journal.uajy.ac.id/3147/2/1HK08774.pdf).

Pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Pasal 7, yaitu Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pemgembangan terhadap industri, untuk:
1.  Mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;
2. Mengembangankan persaingan yang lebih baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
3. Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Pasal 7 tersebut, dapat diketahui bahwa pengaturan kewenangan perindustrian untuk melakukan perwujudan masyarakat adil makmur secara merata. Hal tersebut berguna mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Pemerintah melakukan beberapa kegiatan untuk mendorong laju perkembangan perekonomian nasional dan pertumbuhan laju industri merupakan andalan pemerintah, serta cara untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

        Sebelum adanya konvensi internasional dibidang properti industri, individu dan negara sulit untuk memperoleh perlindungan hak kekayaan industri karena beragamnya hukum antara satu negara dengan negara lain. Aplikasi paten harus dibuat pada waktu yang sama disemua negara untuk menghindari publikasi disatu negara. Hal tersebut justru menjadi kontraproduktif dan menghancurkan penemuan baru dinegara-negara lain. Masalah-masalah praktis menciptakan gagasan dan keinginan yang kuat untuk mengatasi kesulitan tersebut. Konvensi Internasional mengenai hak cipta dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak cipta dengan kepastian hukum secara internasional, dalam hal ini untuk mengambil jalan tengah dari bergamnya aturan atau hukum hak cipta dari berbagai negara. Bahasan mengenai perlindungan hukum hak cipta dimulai dari abad 18 yang saat itu masih memperjuangkan hak kekayaan intelektual. Keinginan yang kuat tersebut yang kemudian melahirkan konvensi Paris dimana sejumlah ketentuan yang terkait dengan hak kekayaan intelektual mulai diatur. Konvensi Paris melahirkan beberapa konvensi internasional lainnya yang lebih spesifik mengenai perlindungan hak cipta. Konvensi hak cipta secara internasional terdiri dari beberapa konvensi yaitu Berne Convention, Universal Copyright Convention,  Konvensi Roma 1961 (International Convention for the Protection of the Performers producers of Phonograms and Broadcasting Organization) yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang berkecimpung dalam kegiatan pertunjukan, perekaman, dan badan penyiaran, Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication of their Phonograms pada tahun 1971, serta Brussels Convention Related to the Distribution of Programme Carrying Signals Transmitted by Satellite pada tahun 1974.

Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) adalah perjanjian internasional tertua tentang Hak cipta yang dibentuk pada tanggal 9 September 1886, dan telah berulang kali mengalami revisi. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Berne pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 Juli 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 dan revisi terakhir di paris pada tanggal 24 juli 1971. Terdapat sepuluh negara peserta asli dan diawali dengan tujuh negara (Denmark, Japan, Luxemburg, Monaco, Montenegro, Norway, Sweden) yang menjadi peserta dengan aksesi menandatangani naskah asli Berne Convention. Peserta perjanjian internasional ini sampai tahun 2006 mencapai 155 negara, termasuk Amerika Serikat yang menjadi anggota perjanjian internasional ini untuk pertama kalinya pada tahun 1989. Konvensi ini lahir karena pada akhir tahun 1900 an, karya-karya hak cipta secara bertahap telah menjadi elemen penting dalam perdagangan internasional. Revolusi industri dan proses produksi massal yang mulai berkembang menjadikan perlindungan hak cipta transnasional menjadi wacana serius. Konvensi Berne mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah yang ikut menandatangani adalah warga negaranya sendiri. Hak cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran secara eksplisit.

Universal Copyright Convention (UCC) merupakan salah satu konvensi hak cipta yang lahir karena adanya gagasan dari peserta Berne Convention dan Amerika Serikat yang didukung oleh PBB khususnya UNESCO, dalam rangka menyatukan satu sistem hukum hak cipta secara universal. Universal Copyright Convention (UCC)  dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1952, mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955, dan mengalami revisi di Paris pada tanggal 24 Juli 1971. Berne covention terdiri dari 21 Pasal dan dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengatur mengenai perlindungan ciptaan terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan dan pelarian. Secara internasional, hak cipta terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan dan pelarian, perlu dilindungi. Hal tersebut beguna untuk mendorong aktivitas dan kreativitas pada pencipta, tidak terkecuali terhadap orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau pelarian sehingga tetap mendapatkan kepastian hukum. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya-karya daripada organisasi internasional tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara harmonis. Inilah yang menjadi dasar dirumuskannya konvensi ini yang merupakan usaha dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Protokol III berkenaan dengan cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan cara bersyarat. Perlu diketahui bahwa standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel daripada yang ditentukan oleh Berne Convention. Ketentuan yang monumental dari Konvensi Universal adalah adanya ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin dilindungi harus mencantumkan tanda C dalam lingkaran seperti ini ©, disertai nama penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbol tersebut menunjukkan bahwa karya tersebut telah dilindungi dengan hak cipta negara asalnya, dan telah terdaftar dibawah perlindungan hak cipta.


Tugas 1 (Hukum Industri)

         Hukum industri merupakan ilmu yang mengatur masalah perindustrian dalam suatu wilayah atau negara, antara lain mengatur bagaimana cara perusahaan mengatur sistem perusahaannya serta sanksi-sanksi apa saja yang akan diterima jika perusahaan tersebut melanggar sanksi tersebut. Hukum industri juga menyangkut permasalahan desain produksi dan hukum konstruksi serta standarisasi, masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri, dan analisis tentang masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri. Peraturan mengenai desain atau perancangan dalam dunia industri dapat dilihat pada Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang desain industri. Peraturan industri didasarkan pada konsep pemikiran bahwa lahirnya industri tidak terlepas dari kemampuan kreativitas cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia. Tujuan dibuatnya hukum industri adalah sebagai sarana pembaharuan atau pembangunan dibidang industri dalam perspektif ilmu-ilmu yang lain, hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang, hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi hukum industri dalam perspektif global dan lokal, hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standarisasi, masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri, pergeseran hudaya hukum dari ‘command and control’ ke ‘self-regulatory system’  untuk mengurangi ongkos birokrasi serta undang-undang Perindustrian. 

          Hak kekayaan intelektual atau sering disingkat “HKI” dengan akronim “HaKI” adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual property rights (IPR). HKI merupakan hak yang timbul bagi hasil olah pikir dengan menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Inti dari HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Singkatnya, hak kekayaan intelektual itu merupakan hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak (peranannya sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis), hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar, hasil kerjaanya itu berupa benda immateril (benda yang tidak berwujud). Hak kekayaan intelektual termasuk dalam bidang hukum perdata yang merupakan bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda terdapat pengaturan tentang hak kebendaan. Hak kebendaan terdiri atas hak benda materil dan immateril. Pembahasan terletak pada hak benda immateril, yang dalam kepustakaan hukum sering disebut dengan istilah hak milik intelektual atau hak atas kekayaan intelektual yang terdiri dari copy rights (hak cipta) dan industrial property rights (hak kekayaan perindustrian). 

        Hukum kekayaan industri terdiri dari merek, paten, desain produk industri, dan perlindungannya juga menembus dinding-dinding nasional. Hak kekayaan industri dapat dilihat dari perlindungan terhadap merek yang berlangsung terus menerus selama pemiliknya masih menggunakan merek tersebut, untuk kegiatan perdagangan barang dan jasanya. Perlu diketahui jika jangka waktu perlindungannya tersebut harus selalu diperpanjang setiap 10 tahun, dan apabila tidak diperpanjang maka merek tersebut akan dinyatakan kadaluarsa. Selanjutnya, hak kekayaan industri juga termasuk hak paten yang merupakan hak eksklusif dari negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak desain industri juga termasuk bagian hak kekayan industri. Hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hal tersebut. 

        Hak cipta adalah salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun penggunaan hak cipta berbeda dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya. Hak cipta merupakan hak eksklusif, dalam hal ini hasil buah pikiran atau kreasi manusia dibidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Ruang lingkup perlindungan hak cipta sangat luas, karena tidak saja menyangkut hak-hak individu dan badan hukum lainnya yang berada dalam lingkup nasional. Lebih jauh menembus dinding-dinding dan batas-batas suatu negara yang untuk selanjutnya lebur dalam hukum, ekonomi politik sosial dan budaya dunia internasional. Hak cipta berlaku juga pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) seperti desain industri. 

            Hak cipta juga memiliki dasar hukum yang kuat dan diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Undang-undang hak cipta yang berlaku dinegara Indonesia adalah UU No. 19 Tahun 2002, yang sebelumnya UU ini berawal dari UU No. 6 Tahun 1982 menggantikan Auteurswet 1982. Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai upaya pemerintah dalam merombak sistem hukum yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada suatu sistem hukum yang dijiwai falsafah negara Indonesia, yaitu Pancasila. Undang-Undang hak cipta 1982 yang diperbaharui dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan diperbaharui lagi dengan UU No. 12 Tahun 1997, terakhir dengan UU No. 19 Tahun 2002. Batasan tentang hal-hal yang dilindungi sebagai hak cipta, dijelaskan pada rumusan pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta (UHC) Indonesia yaitu sebagai berikut:
Ayat 1 : Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup buku, program komputer, pamflet, susuan perwajahan (lay out), karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim.Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. Arsitektur, peta. seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Ayat 2 : Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya dilindungi sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
Ayat 3 : Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. 
           Satu hal yang dicermati adalah yang dilindungi dalam hak cipta ini yaitu haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut. Pasal 2 UU No.19 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai fungsi dan sifat hak cipta itu sendiri. Bunyi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:
a)   Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b)  Pencipta dan/atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

      Hak paten merupakan hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil temuannya di bidang teknologi selama waktu tertentu, dengan melaksanakan sendiri penemuannya tersebut untuk memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melakukannya. Pemegang hak paten adalah seorang inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dan terdaftar dalam Daftar Hak Paten. Istilah paten bermula dari bahasa Latin yang berarti dibuka dan berlawanan dengan Latent yang berarti terselubung, oleh karenanya bahwa suatu penemuan yang mendapatkan paten harus terbuka agar diketahui oleh umum. Keterbukaan tersebut tidak berarti setiap orang dapat mempraktikan penemuan yang dengan mudah didayagunakan oleh orang lain. Singkatnya, setelah habis masa perlindungan patennya, penemuan tersebut menjadi milik umum (public domain), pada saat inilah benar-benar terbuka. Terbukanya suatu penemuan yang baru, membantu memberi informasi yang diperlukan bagi pengembangan teknologi selanjutnya berdasarkan penemuan tersebut dan untuk memberi petunjuk kepada mereka yang berminat dalam mengeksploitasi penemuan itu. Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dengan demikian paten adalah hak istimewa (eksklusif) yang diberikan kepada seorang penemu (inventor) atas hasil penemuan (invention) yang dilakukan di bidang teknologi, baik yang berbentuk produk atau proses saja, atas dasar hak istimewa tersebut. Pihak lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri melaksanakan hasil penemuannya.

            Hak paten diatur dalam Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2001 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten). Pendaftaran dengan Hak Prioritas diatur secara khusus pada Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten pada pasal yang ke 27, yaitu sebagai berikut:
1. Pendaftaran Menggunakan Hak prioritas sebagaimana diatur dalam Paris Convention for the  Protection of Industri Property yang mengatur tentang jangka waktu dan tata cara dalam   mengajukan pendaftaran.
2. Pendaftaran yang mengunakan permohonan dengan hak prioritas wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas, yang disahkan oleh pejabat berwenang.
3. Apabila poin pertama dan kedua tidak dipenuhi, maka permohonan tidak bisa diajukan dengan menggunakan hak prioritas.
Pasal 17 UU Paten:
          UU Paten mengenai hak pemegang paten untuk melaksanakan paten sesungguhnya dapat dilihat dari dua sudut kepentingan, yaitu hak pemegang paten itu sendiri dan kepentingan nasional atau pemerintah sebagai pembuat peraturan. Pasal 71 UU Paten memuat ketentuan mengenai pelarangan pencantuman atau pemuatan dalam suatu perjanjian paten hal-hal yang dapat merugikan kepenrtingan nasional atau membatasi kemampuan Indonesia untuk menguasai teknologi.