4.7
Perbedaan
Strategi Politik Nasional pada Masa Orde Baru dan Reformasi
1.
Strategi Politik
Nasional pada Masa Orde Baru.
Politik Orde Baru
adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan demikian, ada
manfaatnya melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti di lakukan
oleh Andreas Vickers seorang associate professor di Universitas Wollongong
Australia. Vikers membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu fase Honeymoon, Stalinist dan fase
Keterbukaan.
a.
Periode
Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers
menyebut periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem
politik di Indonesia relatif terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan
pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. Sebaliknya, militer
menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan sejumlah tokoh politik
pada masa Soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi jalinan
triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai tokoh politik
kekirian (Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal sebagai
Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang
sertai dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di
lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik
di tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali
Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi politik
dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk
melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada Tahun
1976.
b.
Periode
Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang
disebut sebagai fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri
yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan
menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan
SK 028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan
kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan K
No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai pula
dengan perangkat BKK.
Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu
diterapkan dengan dalih agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral
force atau apalagi sebagaiman political force. Dalam praktik, kebijakan itu
berhasil mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode
ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal,
seperti gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo, penurun
SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana, protes
mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot.
Pada
fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga menjadi instrument
politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-lawan politik Soeharto
dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan indoktrinasi ideology pancasila
dalam bahasa penguasa melalui penataran P4, pengasastunggalan organisasi
politik, kemasyarakatan maupun keagamaan; pemberlakuan politik masa mengambang
(floating mass) setelah penasehat politik soeharto, Ali Moertopo pertama kali
berbicara tentang konsep tersebut.
c.
Periode
keterbukaan
Periode
ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang
selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari
salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang
periode ini merupakan saat-saat orang mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk Bapak presiden. Dalam dunia ekonomi
pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus massuknya
modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya
di kota tetapi sampai ke kecamatan-kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa
membuat bank, Bank perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan
sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan (glasnost) dan reformasi (perestroika)
yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.
d.
Periode krisis
Puncak dari keterbukaan
yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis
moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini
sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi negeri ini mengatakan tidak ada
masalah, karena fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian.
Indonesia terus diterpa badai moneter, kurs rupiah benar-benar tidak
terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS. Krisis ini disertai dengan
krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis, dosen-dosen senior
perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan gelombang demonstrasi
mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto benar-benar sedang di terpa badai,
dan akhirnya menyerahkan Kekuasaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak
itu berakhirlah rezim soeharto, dan dimulailah era baru, era reformasi.
Indonesia memulai lembaran baru dalam sejarah politik, dengan awal yang tidak
mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan,
separatism, hingga penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang
tak terkendali oleh aparat.
2.
Strategi Politik
Nasional pada Masa Reformasi.
Pada masa reformasi,
terbagi menjadi beberapa perubahan kepemimpinan, yaitu:
a.
Pemerintahan
Habibie: Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional
dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
b.
Pemerintahan
Wahid: Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni1999. PDI Perjuangan
pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada
pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999,
MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil
presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet
Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya
pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi
dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi
konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, danPapua. Di
Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai
tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur
pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar.
MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden
Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
c.
Pemerintahan
Megawati: Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid
memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama
kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong
royong.
d.
Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono: Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan
Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah
baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan
besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang
meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang
mengguncang Sumatera. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil
dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri
konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
4.8
Pelaksanaan
Otonomi Daerah dalam Undang-Undang
Konsep otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab tetap seperti yang dirumuskan saat ini yaitu memberdayakan
daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta, masyarakat
dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pemerintahan juga tidak lupa untuk
lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas penyelanggaraan
fungsi-fungsi seperti pelayanan, pembangunan dan perlindungan terhadap
masyarakat dalam ikatan NKRI. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan secara
proposional sehingga saling menjunjung.
Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara
pemilihan kepala daerah. Agar penyelenggaraan pemilihan dapat berlangsung
dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawasan. Kewenangan KPUD provinsi,
kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan
berita acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses
pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 terlihat
adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di satu sisi, pelibatan public
(masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal mengalami peningkatan luar
biasa dengan diaturnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Dari anatomi
tersebut, jelaslah bahwa revisi yang dilakukan terhadap UU No.22 Tahun 1999
dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dam
pelaksanaan otomoni daerah. Sekilas UU No.32 Tahun 2004 masih menyisakan banyak
kelemahan, tetapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk
menciptakan good govermance (pemerintahan
yang baik).
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan salah satu wujud politik dan strategi
nasional secara teoritis telah memberikan dua bentuk otonomi kepada dua daerah,
yaitu otonomi terbatas bagi daerah propinsi dan otonomi luas bagi daerah
Kabupaten/Kota. Perbedaan Undang-undang yang lama dan yang baru ialah:
1. Undang-undang yang lama, titik
pandang kewenangannya dimulai dari pusat (central
government looking).
2. Undang-undang yang baru, titik
pandang kewenangannya dimulai dari daerah (local
government looking).
Sumber:
1. http://pancasilazone.blogspot.com/2012/05/politik-dan-strategi-nasional.html
2. http://anaiiamoii.blogspot.com/2012/06/politik-strategi-nasional-pengertian.html
3. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pendidikan_kewarganegaraan/bab4-politik_dan_strategi_nasional.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar