Kamis, 03 Oktober 2013

Cerpen Untuk Guru.

Dream, Believe, and Make It Happen!’


Angin berdesir kencang. Memukul dinding rumah dan menyusup diantara sela-sela papan yang telah reyot, menyentuh dengan keras atap berdaun rumbia, serta merta pekikkan ayam membangunkanku dari alam mimpi.

Pukul 06.30 WIB, aku bergegas ke sekolah dengan semangat yang membara. Berjalan  kaki dan melewati jalan setapak telah menjadi makananku sehari-hari. Ya, itulah sebabnya aku harus berangkat di pagi buta, demi mengejar ilmu dan cita-cita.

Meski masih duduk dibangku kelas 2 di SMA Pekerti, tak sedikit yang pesimis aku akan bisa melewati seluruh jenjang pendidikan. Namun, semuanya dapat ku tepis hingga detik ini. Maklum, karena lokasi tempat tinggal dan sekolahku berada di pedalaman yang membuat sekolah menjadi barang langka. Namun, aku tak akan kalah dari keadaan.

***

            Sekolahku bukanlah seperti sekolah-sekolah ‘top’ lainnya di kota. Kondisi sekolahku    sangat sederhana, dengan tiga kelas, berdinding papan dan kulit kayu yang sudah bercelah-celah, serta beratapkan daun rumbia. Tak hanya disitu saja, meja dan tempat duduk terbuat dari papan berbentuk memanjang, dengan papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku, bahkan tanah menjadi lantai bagi sekolahku. Jika SMA ‘top’ di kota sana bersaing dengan baju seragamnya, ratusan muridnya dan puluhan gurunya, berbeda jauh dengan sekolahku yang berisikan tujuh orang murid disetiap kelas, dan empat orang guru sebagai pengajar. Bahkan baju seragam tak menjadi masalah bagi kami, lusuh ataupun tidak, yang penting putih abu-abu.

            Suka maupun duka di sekolah ini telah banyak terukir di ingatan ku, saat hujan turun,  lantai yang hanya beralaskan tanah berubah menjadi lumpur yang siap mengotori kaki, tetesan air yang berhasil menembus daun rumbia menjadi tersangka yang membuat kami mencari tempat aman untuk belajar. Dibalik itu semua, aku sangat mencintai sekolahku, apapun yang terjadi dengannya, seperti apapun orang melihat dan menganggapnya. Mungkin dimata orang aku fanatik, tapi bagiku ini rasa terimakasih untuk sekolah yang memberiku tempat menuntut ilmu.

***

            Kami dan guru-guru senang membaur, mengerjakan latihan, memecahkannya bersama, dan menjalin keakraban. Pak Natan adalah salah satu guru bahasa Inggris sekaligus matematika favoritku, ia tak pernah mengenal waktu dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru maupun kepala keluarga. Setiap hari ia melaksanakan rutinitas yang sama, pagi dan siang dengan kewajibannya sebagai guru, dan tak kenal lelah memetik dan menjual kelapa pada sore hari. Itu disebabkan karena  gaji pak Natan sebagai pengajar sangatlah tidak cukup untuk menghidupi keluarganya terlebih-lebih saat tidak mendapat gaji. Itulah mengapa ia sangat gigih bekerja dengan tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai guru. Pak Natan hanyalah tamatan SMA, namun ia pintar dan berprestasi. Sayangnya, kemiskinan menghancurkan mimpi seorang cemerlang seperti beliau untuk meraih yang lebih tinggi.

Beberapa bulan yang lalu, kegembiraan menghampiriku saat mendengar seorang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. “Akhirnya Tuhan mendengar doaku” ujarku bahagia.
            Sempat berharap lebih dengan kehadirannya di sekolahku. Namun, harapanku pupus dengan sendirinya. Sebulan mengajar, dia hanya tiga kali datang ke sekolah lalu tak terlihat lagi pada bulan berikutnya. Yah, mungkin tak terbiasa dengan keadaan di pedalaman.

Meskipun aku hanya anak pedalaman, tapi aku juga sama seperti anak-anak sekolahan di kota yang mempunyai cita-cita tinggi karena semua orang mempunyai mimpi sendiri. Beberapa hari yang lalu, saat pak Yamin menanyakan cita-cita kami masing-masing dikelas, sebagian menyatakan dengan alasan yang sama “tak punya uang untuk melanjut...” Hmm.. kehidupan pedalaman memang kejam. Apapun itu, aku tetap berpikir positif akan cita-citaku menjadi guru nasional. Tak jarang, hina dan cerca menghampiriku.

“Jangan mimpi terlalu tinggi, Ron. Jatuhnya sakit. Cita-cita tinggi hanya untuk mereka yang ditempat tinggi” ucap Beno padaku.

“Aku percaya akan sebuah keajaiban, aku telah meminta pada Tuhan dan tak mungkin Tuhan menghambat sesuatu yang baik” balasku dengan sabar.

***

Suatu hari pak Natan bertanya padaku “Apakah cita-citamu Roni?”
“Aku ingin seperti bapak!” jawabku dengan keyakinan penuh.
“Menjadi bapak? Jadi guru?” kejut pak Natan.
“Aku ingin membuat pedalaman ini menjadi maju, seluruh penduduk bisa membaca dan menghitung” jawabku dengan yakin.
            Mata pak Natan tampak berkaca-kaca mendengar cita-citaku.
“Pendidikan di kampung ini sangat menyedihkan, tak ada guru yang mau mengajar secara sukarela. Apalagi anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja membantu orangtua dari pada pergi ke sekolah” balas pak Natan.

            Sejak saat itu, pak Natan selalu memotivasiku untuk meraih pendidikan dan cita-cita yang tinggi. Menjadi pengganti mewujudkan cita-cita beliau yang tertunda. Menjadi guru nasional yang sukses mencerdaskan anak bangsa. Tidak selamanya penduduk pedalaman tidak dapat sukses. Jika kita mau dan berusaha untuk berubah, bangkit dari keterpurukan ataupun keadaan sekitar yang kurang mendukung, kita pasti bisa menggapai cita-cita ataupun pendidikan yang setinggi-tingginya. ‘Dream, believe, and make it happen!’ Bermimpilah, lalu percayalah akan mimpimu dan buat mimpimu itu terjadi. Begitulah ucapan beliau yang selalu memotivasiku.                 
                                                                                                                              
Itulah kata-kata yang akan selalu teringat olehku, motivasi yang membuatku  menjadi sukses sekarang ini, dan kini aku siap membagikannya juga pada murid-muridku di sekolah dalam menggapai cita, cinta, dan asa. ‘Dream, believe, and make it happen!’

***




                                                                        Karya : ARIF JUNISMAN MENDRȎFA


                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar