‘Dream,
Believe, and Make It Happen!’
Angin berdesir kencang.
Memukul dinding rumah dan menyusup diantara sela-sela papan yang telah reyot, menyentuh
dengan keras atap berdaun rumbia, serta
merta pekikkan ayam membangunkanku dari alam mimpi.
Pukul
06.30 WIB, aku bergegas ke sekolah dengan semangat yang membara. Berjalan kaki dan melewati jalan setapak telah menjadi
makananku sehari-hari. Ya, itulah sebabnya aku harus berangkat di pagi buta,
demi mengejar ilmu dan cita-cita.
Meski
masih duduk dibangku kelas 2 di SMA Pekerti, tak sedikit yang pesimis aku akan
bisa melewati seluruh jenjang pendidikan. Namun, semuanya dapat ku tepis hingga
detik ini. Maklum, karena lokasi tempat tinggal dan sekolahku berada di pedalaman
yang membuat sekolah menjadi barang langka. Namun, aku tak akan kalah dari
keadaan.
***
Sekolahku bukanlah seperti
sekolah-sekolah ‘top’ lainnya di kota. Kondisi sekolahku sangat sederhana, dengan tiga kelas,
berdinding papan dan kulit kayu yang sudah bercelah-celah, serta beratapkan
daun rumbia. Tak hanya disitu saja, meja dan tempat duduk terbuat dari papan
berbentuk memanjang, dengan papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung
di depan kelasku, bahkan tanah menjadi lantai bagi sekolahku. Jika SMA ‘top’ di
kota sana bersaing dengan baju seragamnya, ratusan muridnya dan puluhan gurunya,
berbeda jauh dengan sekolahku yang berisikan tujuh orang murid disetiap kelas,
dan empat orang guru sebagai pengajar. Bahkan baju seragam tak menjadi masalah
bagi kami, lusuh ataupun tidak, yang penting putih abu-abu.
Suka maupun duka di sekolah ini telah
banyak terukir di ingatan ku, saat hujan turun, lantai yang hanya beralaskan tanah berubah
menjadi lumpur yang siap mengotori kaki, tetesan air yang berhasil menembus
daun rumbia menjadi tersangka yang membuat kami mencari tempat aman untuk
belajar. Dibalik itu semua, aku sangat mencintai sekolahku, apapun yang terjadi
dengannya, seperti apapun orang melihat dan menganggapnya. Mungkin dimata orang
aku fanatik, tapi bagiku ini rasa terimakasih untuk sekolah yang memberiku
tempat menuntut ilmu.
***
Kami dan guru-guru senang membaur,
mengerjakan latihan, memecahkannya bersama, dan menjalin keakraban. Pak Natan
adalah salah satu guru bahasa Inggris sekaligus matematika favoritku, ia tak
pernah mengenal waktu dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai
guru maupun kepala keluarga. Setiap hari ia melaksanakan rutinitas yang sama,
pagi dan siang dengan kewajibannya sebagai guru, dan tak kenal lelah memetik
dan menjual kelapa pada sore hari. Itu disebabkan karena gaji pak Natan sebagai pengajar sangatlah
tidak cukup untuk menghidupi keluarganya terlebih-lebih saat tidak mendapat
gaji. Itulah mengapa ia sangat gigih bekerja dengan tidak melupakan tanggung
jawabnya sebagai guru. Pak Natan hanyalah tamatan SMA, namun ia pintar dan
berprestasi. Sayangnya, kemiskinan menghancurkan mimpi seorang cemerlang
seperti beliau untuk meraih yang lebih tinggi.
Beberapa
bulan yang lalu, kegembiraan menghampiriku saat mendengar seorang guru bantu
yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. “Akhirnya Tuhan mendengar doaku”
ujarku bahagia.
Sempat berharap lebih dengan
kehadirannya di sekolahku. Namun, harapanku pupus dengan sendirinya. Sebulan
mengajar, dia hanya tiga kali datang ke sekolah lalu tak terlihat lagi pada
bulan berikutnya. Yah, mungkin tak terbiasa dengan keadaan di pedalaman.
Meskipun
aku hanya anak pedalaman, tapi aku juga sama seperti anak-anak sekolahan di kota
yang mempunyai cita-cita tinggi karena semua orang mempunyai mimpi sendiri.
Beberapa hari yang lalu, saat pak Yamin menanyakan cita-cita kami masing-masing
dikelas, sebagian menyatakan dengan alasan yang sama “tak punya uang untuk
melanjut...” Hmm.. kehidupan pedalaman memang kejam. Apapun itu, aku tetap
berpikir positif akan cita-citaku menjadi guru nasional. Tak jarang, hina dan
cerca menghampiriku.
“Jangan
mimpi terlalu tinggi, Ron. Jatuhnya sakit. Cita-cita tinggi hanya untuk mereka
yang ditempat tinggi” ucap Beno padaku.
“Aku
percaya akan sebuah keajaiban, aku telah meminta pada Tuhan dan tak mungkin Tuhan
menghambat sesuatu yang baik” balasku dengan sabar.
***
Suatu
hari pak Natan bertanya padaku “Apakah cita-citamu Roni?”
“Aku
ingin seperti bapak!” jawabku dengan keyakinan penuh.
“Menjadi bapak? Jadi guru?” kejut pak
Natan.
“Aku
ingin membuat pedalaman ini menjadi maju, seluruh penduduk bisa membaca dan
menghitung” jawabku dengan yakin.
Mata pak Natan tampak berkaca-kaca
mendengar cita-citaku.
“Pendidikan
di kampung ini sangat menyedihkan, tak ada guru yang mau mengajar secara sukarela.
Apalagi anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja membantu orangtua dari pada
pergi ke sekolah” balas pak Natan.
Sejak saat itu, pak Natan selalu
memotivasiku untuk meraih pendidikan dan cita-cita yang tinggi. Menjadi pengganti
mewujudkan cita-cita beliau yang tertunda. Menjadi guru nasional yang sukses
mencerdaskan anak bangsa. Tidak selamanya penduduk pedalaman tidak dapat
sukses. Jika kita mau dan berusaha untuk berubah, bangkit dari keterpurukan
ataupun keadaan sekitar yang kurang mendukung, kita pasti bisa menggapai
cita-cita ataupun pendidikan yang setinggi-tingginya. ‘Dream, believe, and make it happen!’ Bermimpilah, lalu percayalah
akan mimpimu dan buat mimpimu itu terjadi. Begitulah ucapan beliau yang selalu memotivasiku.
Itulah
kata-kata yang akan selalu teringat olehku, motivasi yang membuatku menjadi sukses sekarang ini, dan kini aku
siap membagikannya juga pada murid-muridku di sekolah dalam menggapai cita,
cinta, dan asa. ‘Dream, believe, and make
it happen!’
***
Karya : ARIF JUNISMAN MENDRȎFA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar