Minggu, 20 Oktober 2013

Tugas 3 Ilmu Budaya Dasar #Softskill

KEBUDAYAAN MENGAGUMKAN DARI NIAS.

Suku Nias adalah salah satu suku kebanggaan Indonesia yang dari awal hidup dan tinggal di pulau Nias, Sumatera Utara. Dalam bahasa Nias, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia yang sering diartikan sebagai anak/keturunan Nias) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah) diartikan sebagai tanah Nias. Masyarakat Nias selalu menyapa satu sama lain dengan diawali kata yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam budaya Nias yaitu "Ya'ahowu"




Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut ‘fondrakö’ yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang.

Suku Nias kuno mengenal sistem kasta/strata (12 tingkatan kasta/strata). Dimana tingkatan yang tertinggi adalah "Balugu" yang sama dengan raja tertinggi. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.


           
            Pulau Nias terletak di sebelah barat pulau Sumatra lebih tepatnya terletak kurang lebih 85 mil laut dari Sibolga, daerah Provinsi Sumatera Utara. Pulau Nias memiliki luas wilayah 5.625 km² dan berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias Induk, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Kota Gunungsitoli merupakan salah satu kota madya di Sumatera Utara, dan fasilitas serta kemajuan kota ini sangatlah pesat dan masyarakat yang tinggal di kota Gunungsitoli telah melakukan perubahan sejak tahun 2000 dengan hidup dalam dunia yang serba IPTEK, itu sebabnya Gunungsitoli menjadi pusat dari pulau Nias.

Pulau Nias tidak dapat dianggap remeh, daerah ini memiliki obyek wisata yang banyak dan tersebar diberbagai daerah dipulau ini. Pulau Nias terlebih di kabupaten Nias Selatan selalu ramai akan turis mancanegara, pengunjung dari luar daerah, bahkan peselancar-peselancar internasional dan artis-artis dalam negeri maupun luar negeri pernah berkunjung di pulau Nias baik secara diam-diam (tanpa diketahui media atau masyarakat luas) maupun secara terang-terangan. Para pengunjung lebih sering berkunjung di kabupaten Nias Selatan karena menjadi daerah yang paling terkenal obyek wisatanya di pulau Nias. Bahkan tak heran jika turis mancanegara / warga negara asing sering mengklaim Nias sebagai surga ke dua Indonesia setelah pulau Bali. Beberapa obyek wisata yang menjadi target pengunjung dalam negeri maupun luar negeri di pulau  Nias yakni pantai Lagundri, pantai Sorake untuk berselancar (surfing), rumah tradisional dan perkampungan Bawamataluo yang menjadi salah satu Warisan Dunia oleh UNESCO, melihat atraksi fahombo batu (lompat batu), atraksi Foluaya (tari perang) ataupun diving (menyelam) dan snorkeling diberbagai pantai yang tersebar dipulau Nias. Akses menuju ke pulau Nias dapat melalui pesawat yang nantinya akan mendarat ke bandara Binaka Nias atupun dengan kapal laut yang akan berlabuh di pelabuhan kota Gunungsitoli.


Pantai Sorake, Kabupaten Nias Selatan. 




Turis mancanegara sedang surfing di Pantai Sorake, Kabupaten Nias Selatan.


Beberapa makanan khas dari Nias, yakni:
-          Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
-          Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
-       Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
- Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
-          Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
-          Rakigae (pisang goreng)
-          Tamböyö (ketupat)
-          Löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
-          Gae nibogö (pisang bakar)
-          Kazimone (terbuat dari sagu)
-          Bawayasö (nasi pulut)

Beberapa minuman khas dari Nias, yakni:
-          Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
-          Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)



Adapun beberapa budaya yang lahir dan tumbuh dalam masyarakat suku Nias yakni:

-          Fahombo  (Lompat Batu)
-          Fatele/Foluaya (Tari Perang)
-          Maena (Tari Masal)
-          Tari Moyo
-          Tari Mogaele
-          Tari Baluse
-          Tari Ya’ahowu untuk menyambut tamu besar ataupun ketua-ketua adat
-          Sapaan Ya'ahowu jika bertemu dengan orang lain
-          Fame Ono nihalõ (saat pernikahan)
-          Omo Hada (Rumah adat suku Nias)
-          Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah).

Dalam artikel ini, saya akan lebih membahas mengenai Tari Perang (Foluaya), dan Lompat Batu (Fahombo Batu).




LOMPAT BATU (HOMBO BATU)
           Di pulau Nias masih banyak terdapat batu-batu besar (megalitik). Batu – batu besar ini di gunakan oleh masyarakat setempat untuk melakukan tradisi Lompat Batu atau Hombo Batu. Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak zaman leluhur kuno suku Nias, saat itu mereka sering berperang antar desa, dimana terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah, atau masalah perbudakan. Masing-masing desa kemudian membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu setinggi 2 meter. Sehingga leluhur kuno Nias melatih diri mereka agar kuat dan mampu menembus benteng lawan tersebu. Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini turut berubah fungsinya. Karena zaman sekarang sudah tidak terjadi lagi perang, maka tradisi Hombo Batu (lompat batu) lebih ditujukan pada acara ritual, adat, ataupun atraksi untuk dipertontonkan.

Atraksi Hombo Batu (Lompat Batu) di Desa Bawa Mataluo, Kabupaten Nias Selatan


Batu yang harus dilompati tingginya sekira 2 meter, berlebar 90 cm, dan panjangnya 60 cm. Dengan ancang-ancang lari yang tidak jauh, seorang pemuda Nias akan dengan tangkas melaju kencang lalu menginjak sebongkah batu untuk kemudian melenting ke udara melewati sebuah batu besar setinggi 2 meteran menyerupai benteng. Puncak batu tidak boleh tersentuh sama sekali dan sebuah pendaratan yang sempurna harus dituntaskan karena apabila tidak maka resikonya adalah cedera otot atau bahkan patah tulang. Para pelompat yang melompati Batu besar itu terlebih dahulu melalui pijakan batu kecil sebelum melompati batu peninggalan masa lalu tersebut. Banyak pemuda yang bersemangat untuk dapat melompati batu besar ini, namun bukan semudah yang dibayangkan dimana sangat jarang sekali ono niha (masyarakat atau anak Nias) yang dapat melakukannya. Perlu diketahui, Hombo batu (lompat batu) hanya boleh dilakukan oleh laki-laki keturunan Nias saja.

Keluarga yang masih kuat budaya Niasnya di pulau Nias akan mendidik anaknya laki-laki sedari 7 tahun dengan berlatih melompati tali yang terus ditinggikan takarannya seiring usia mereka yang bertambah. Bila saatnya tiba, setelah melalui latihan yang matang maka mereka akan diperbolehkan melompati tumpukan batu berbentuk seperti prisma terpotong setinggi 2 meter ini. Dalam adat Nias, Hombo batu (lompat batu) sekaligus menjadi ukuran keberanian dan kedewasaan anak laki-laki sebagai keturunan pejuang Nias.

            Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut sebagai
 hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini lestari bersama budaya megalit di pulau seluas 5.625 km² yang dikelilingi Samudera Hindia dan berpenduduk 700.000 jiwa ini. 

            Tradisi
 fahombo diwariskan turun-termurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna. 

            Saat zaman leluhur kuno Nias dimana terjadi perang antar desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin para bangsawan dari strata/kasta
 balugu akan menentukan pantas tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit untuk berperang. Selain memilki fisik yang kuat, menguasai bela diri dan ilmu-ilmu hitam, juga harus dapat melompati sebuah batu bersusun setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.

            Atraksi
 hombo batu tidak hanya memberikan kebanggaan bagi seorang pemuda Nias yang berhasil melakukannya tetapi juga untuk keluarga mereka. Keluarga yang anaknya telah berhasil dalam hombo batu maka akan mengadakan pesta bersama masyarakat dengan menyembelih beberapa ekor ternak.

            Atraksi hombo batu (lompat batu) yang mengagumkan dan hanya terdapat di pulau Nias ini merupakan gambaran nyata betapa luar biasanya kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia ini. Atraksi hombo batu (lompat batu) yang mengagumkan ini hanya dapat dilihat di beberapa tempat di Pulau Nias saja, seperti di Desa Bawo Mataluo, Kabupaten Nias Selatan dan lapangan Merdeka Kota Gunungsitoli.

Penasaran bagaimana atraksi Hombo Batu (Lompat Batu) ??? klik videonya ya..




                                                                                                 









Nama : ARIF JUNISMAN MENDROFA
NPM  : 314 13 323
Kelas  : 1ID07


Referensi :

Minggu, 13 Oktober 2013

Tugas 2 Ilmu Budaya Dasar #Softskill

BERKENALAN DENGAN KAIN ULOS
KEPUNYAAN INDONESIA.

Kain Ulos adalah salah satu hasil kebudayaan Indonesia yang wajib diapresiasikan. Kain Ulos merupakan hasil tenun berbentuk selendang yang bersifat turun temurun dan dikembangkan oleh masyarakat suku Batak di Indonesia. Sejak dulu, masyarakat suku Batak telah mendiami provinsi Sumatera Utara - Indonesia, tepatnya di wilayah Kangkat Hulu, Deli Hulu, Daratan Tinggi Karo, Serdang Hulu, Toba, Simalungun, Tapanuli Tengah, dan Mandailing.


Kain Ulos Khas Suku Batak


Suku Batak memang salah satu suku besar di Indonesia, ini terlihat dari terbaginya lagi jenis suku Batak tersebut, diantaranya suku Batak Toba, suku Batak Karo, suku Batak Pakpak, suku Batak Simalungun, suku Batak Angkola, dan suku Batak Mandailing yang masing-masing memiliki beragam kebudayaan, seperti Tarian Tor-Tor, juga Kain Ulos, dan masih banyak lagi. Namun, saya akan lebih membahas mengenai Kain Ulos dalam artikel ini.

Kain Ulos bukanlah sembarang kain atau selendang biasa, melainkan memiliki makna atau simbol yang mendalam bagi masyarakat suku Batak dan lebih bersifat sakral. Kain Ulos merupakan simbol dari restu, kasih sayang, kehangatan, dan persatuan. Hal tersebut tergambar dari pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong”, yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka Ulos adalah pengikat kasih sayang antar sesama.

Ulos dari bahasa asalnya dapat diartikan sebagai kain atau selimut yang menghangatkan dan melindungi tubuh. Ulos juga termasuk salah satu dari tiga sumber yang memberi panas dalam kepercayaan leluhur suku Batak. Tiga sumber panas tersebut, yaitu matahari, api, dan ulos. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa, Kain Ulos dibuat pada awalnya untuk menghangatkan tubuh nenek moyang atau leluhur suku Batak yang memiliki kebiasaan tinggal dan berladang didataran tinggi atau pegunungan yang memiliki temperatur dingin. Semakin lama, nenek moyang suku Batak lebih mengedepankan Kain Ulos sebagai sumber penghangat dibanding dua sumber penghangat lainnya yang mereka percayai saat itu. Hal tersebut didukung juga dengan pemikiran bahwa Kain Ulos dapat menghangatkan kapan saja, seperti saat malam hari dimana matahari sudah terbenam ataupun saat hujan disiang hari serta sumber penghangat yang tidak berbahaya, tidak seperti penggunaan api saat malam hari. Dari sinilah cikal bakal lahirnya Kain Ulos.

            Kain Ulos bukanlah dibuat dengan mesin melainkan dengan menenun. Itulah sebabnya mengapa Kain Ulos terkadang disamakan dengan Songket dari Palembang yang juga memakai metode tenunan pada pembuatannya. Namun, yang jelas Kain Ulos berbeda dengan Songket.
Kain ulos memiliki warna dominan seperti merah, hitam, dan putih yang dihias dengan ragam tenunan yang umumnya dari benang berwarna emas dan perak. Ulos yang asli dari tenunan masyarakat Batak tentunya memiliki kualitas yang tinggi, dengan struktur yang lebih lembut, tebal, dan dihiasi motif yang sangat artistik dan beragam.
Dalam perkembangannya, Kain Ulos menjadi hasil kebudayaan yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Kondisi tersebut yang membuat Kain Ulos semakin memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat Batak. Oleh sebab itu, leluhur serta tokoh-tokoh adat dalam suku Batak membuat aturan penggunaan Ulos yang termasuk dalam aturan adat, antara lain :
1.   Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang struktur hubungan keanggotaan keluarga masih di bawah pemberi Ulos. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua mengulosi anaknya, tapi tidak sebaliknya).
2.    Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).

Sedangkan menurut penggunaanya, Ulos yang dipakai antara lain:
A. Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan Ulos Ragidup, Sibolang, Runjat, Jobit dan lainnya.
B. Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan Ulos Sirara, Sumbat, Bolean, Mangiring dan lainnya.
C.  Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan Ulos Tumtuman, Mangiring, Padang Rusa dan lain-lain.

Penggunaan Ulos pada acara adat suku Batak

Penggunaan Ulos secara kreatif dizaman sekarang, seperti busana pada acara 
Tour De Toba yang setiap tahun dilaksanakan masyarakat suku Batak


Namun, baik Kain Ulos maupun ragam motif tenunannya kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
            Kain Ulos hingga saat ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak. Mangulosi merupakan unsur yang sangat penting dalam acara adat Batak, baik pernikahan, kelahiran, pertemuan adat maupun dukacita. Mangulosi dilakukan dengan memberikan dan memasangkan Kain Ulos pada pihak atau orang yang dituju. Mangulosi memiliki arti yang mendalam serta melambangkan pemberian restu, kasih sayang, harapan, kebaikan-kebaikan, dan penghiburan.
Ulos juga terkadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi sang ibu dari segala bahaya yang mengancam saat proses persalinan. Dalam perkembangannya di masa sekarang, Ulos dapat diberikan kepada mereka yang bukan keturunan serta bukan suku Batak atau “non Batak”. Pemberian dalam hal ini melambangkan penghormatan, penerimaan, dan kasih sayang kepada penerima Ulos. Misalnya, Presiden atau pejabat negara dan pemerintah.
Beberapa Jenis Ulos yang ada dalam adat suku Batak, yakni:
1.             Ulos Ragidup
Ulos Ragidup

                      Ragidup berarti kehidupan, sehingga Ulos Ragidup adalah Ulos yang belambangkan kehidupan, dengan warna, serta motif/coraknya memberi kesan seolah-olah Ulos ini hidup atau bernyawa. Ulos Ragidup juga mengandung arti bagi siapapun pemiliknya yaitu sebuah harapan agar umur panjang, dan terus berjuang melewati hidup. Ulos Ragidup merupakan jenis Ulos yang kelas/derajatnya tertinggi dibanding Ulos jenis lain, terlihat dari pembuatannya yang sulit, dimana terdapat dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun dengan sangat rumit serta tersendiri. Ulos Ragidup juga digunakan pada acara pernikahan, dengan pemberian ulos oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin laki-laki. Letak pemakaian Ulos ini seperti memakai selendang umumnya.

2.             Ulos Ragihotang


Ulos Ragihotang





Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian Ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya dinikahi oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian Ulos ini selalu di sertai dengan memberikan Mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat. Ulos Ragihotang termasuk Ulos berkelas tinggi tapi tidak sesulit Ulos Ragidup.

3.             Ulos Sibolang Rasta Pamontari

Ulos ini di pakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada saat sekarang, Ulos Sibolang bisa di katakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu), dan di pakai juga sebagai Ulos Tujung untuk janda dan duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini di pergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang yang meninggal.

4.             Ulos Antakantak

Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu Ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

5.             Ulos Bolean

Ulos ini biasanya dikenakan sebagai selendang pada acara-acara kedukaan atau pada saat suasana duka cita.

6.             Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian di satukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya antara lain:
a.       Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, biasanya dipakai oleh raja-raja atau tokoh adat saat acara adat berlangsung.
b.      Dipakai oleh rakyat biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
c.       Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara Marpaniaran (kelompok istri dari golongan hulahula atau pihak keluarga dari istri), Ulos ini juga dipakai dengan dililit sebagai kain oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
d.      Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot di berikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hulahula) kepada ke dua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (Pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

7.        Ulos Ragi Huting

Ulos ini sudah jarang dipakai saat ini. Dulu, anak perempuan memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (hobahoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) Batak Toba yang ber-adat.

8.        Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum, Ulos ini berfungsi dan dipakai sebagai selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan).


9.        Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini difungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.

10.    Ulos Suri-suri Ganjang

Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu Margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hulahula (orang tua dari pihak istri) untuk Manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabegabe (berkat).

11.    Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan.

Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di selimutkan pada jasadnya. Biasanya dominan warna hitam.

12.    Ulos Tumtuman

Dipakai sebagai talitali (ikat kepala) yang bermotif dan di pakai oleh anak sulung yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).

13.    Ulos Tutur-Tutur

Ulos ini dipakai sebagai talitali (ikat kepala) dan sebagai handehande (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).

14.    Ulos Mangiring


Ulos Mangiring
Ulos ini dipakai sebagai selendang, talitali, juga Ulos ini di berikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai simbol besarnya keinginan agar si anak yang baru lahir kelak di iringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai parompa (alat gendong) untuk anak.
15.    Ulos Bintang Maratur
Ulos Bintang Maratur

Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba, beberapa diantaranya yakni:
a.      Kepada anak yang memasuki rumah baru.
Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan situasi yang sangat menggembirakan dan kebanggaan bagi masyarakat Batak Toba, sekaligus bersyukur untuk berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Ulos ini diberikan kepada orang yang sedang berada dalam suasana bergembira.
b.   Secara khusus di daerah Toba, Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos ini juga di berikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.
Sebagian besar ulos yang telah punah karena tidak diproduksi lagi, yaitu Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Demikian artikel “Berkenalan dengan Kain Ulos Kepunyaan Indonesia” yang telah saya susun. Kiranya dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya. Terimakasih.

                                                   Yuk, intip proses pembuatan Kain Ulos dibawah ini ^^



                                              
                                                                                   Nama : ARIF JUNISMAN MENDROFA
                                                              NPM   : 31413323
                                                              Kelas  : 1ID07



                                                                                                               

Referensi :