Sabtu, 03 Juni 2017

Tugas Etika Profesi: Studi Kasus Pelanggaran Merek

Tugas Studi Kasus Pelanggaran Merek


 A.           Hak Merek
Merek adalah satu wujud karya intelektual.yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukan ciri dan asal usul barang tersebut. Terlebih disebabkan perdagangan dunia yang semakin maju, serta alat transportasi yang semakin baik juga dengan dilakukannya promosi maka wilayah pemasaran barang pun menjadi lebih luas lagi. Hal tersebut menambah pentingnya arti dari merek yaitu untuk membedakan asal usul barang, dan kualitasnya, juga menghindari peniruan.
Merek memberikan fungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda, seperti yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang Undang Merek (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). Tanda tersebut harus memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa. Merek digunakan untuk membangun loyalitas konsumen.
Hak merek dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagain karena pewarisan hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Jika terdapat pelanggaran terhadap hak merek maka penyelesaian dapat melaui 2 (dua) mekanisme alur penyelesaian yaitu litigasi dan non litigasi. Penyelesaian secara non litigasi melalui negosiasi, mediasi, serta arbitrase. Sementara itu, melalui litigasi dalam sengketa hak merek melalui pengadilan niaga, pengadilan niaga adalah suatu pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan.
Merek terbagi atas tiga jenis, antara lain merek dagang, merek jasa, serta merek kolektif.
1.    Merek dagang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis.
2.    Merek jasa digunakan untuk diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis.
3.    Merek kolektif digunakan pada barang/jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang/badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang/jasa sejenis.

B.       Studi Kasus Hak Merek Jasa
Salah satu kasus yang sempat menghebohkan di Indonesia selama beberapa tahun mengenai pelanggaran merek yaitu kasus merek Kopitiam. Kasus ini melibatkan banyak pihak terutama para pemilik restoran Kopitiam. Awal dari kejadian pelanggaran merek ini yaitu setelah pemiliknya Abdul Alex Soelystio mendaftarkan kedai kopinya dengan nama 'KOPITIAM'. Merek ini dituliskan dengan huruf besar semua dengan warna huruf orange dan khas. Suasana semakin memanas ketika mengumumkan di sebuah media cetak nasional pada 28 Februari 2012 bahwa pihaknyalah yang memiliki hak merek 'KOPITIAM'. Pengumuman tersebut sebagai peringatan kepada anggota-anggota Perhimpunan Pengusaha Kopi Tiam Indonesia (PPKTI) lainnya untuk menurunkan papan merek atau tidak lagi menggunakan merek Kopitiam pada usaha yang didirikan.
Abdul Alex Soelystio menjadi pemegang hak ekslusif dari merek Kopitiam yang resmi diperolehnya sejak tahun 1996 dan telah diperpanjang kembali pada 2006. Hak ekslusif dalam hal ini adalah hak atas merek yang di berikan oleh negara kepada pemiliknya. Adanya hak ekslusif menimbulkan sanksi tindak pidana merek pada pihak lain yang sembarangan menggunakan merek Kopitiam.
Tiam merupakan bahasa Tinghoa-Hokkien yang berarti kedai. Kata tiam ini menyebar sejak berabad-abad lalu, tidak hanya di Tiongkok tetapi juga memasuki Asia Tenggara. Seiring berjalannya waktu, orang-orang semakin suka berlama-lama meminum kopi di tiam, sehingga muncul istilah 'kopi tiam' atau kedai kopi dikalangan masyarafskat. Kopitiam dapat dikatakan berasal dari sebuah bahasa percampuran melayu dan bahasa etnis Tionghoa, dan akhirnya menjadi bagian dari bahasa yang ada di Indonesia. Kopitiam ditulis dengan beragam varian, dari mulai 'kopi tiam', 'kopitiam' atau langsung merujuk dengan menggunakan huruf Tiongkok.
Pemilik kopitiam-kopitiam lainnya akhirnya tidak menerima akan keputusan pemerintah mengabulkan hak merek atas kata Kopitiam yang merupakan kata umum atau public domain. Hal tersebut berakibat pada banyak pihak yang menggugat Menkum HAM setelah mengeluarkan izin merek tersebut, termasuk menggugat Abdul Alex Soelystio. Salah satu pemilik kopitiam beranggapan jika penulisan merek Kok Ting Kopitiam pada kedainya sangat jauh berbeda dengan penulisan merek KOPITIAM punya Abdul Alex Soelystio. Tetapi MA di tingkat kasasi tetap menyatakan kedai kopi Kok Tong Kopitiam memiliki persamaan dengan kedai kopi 'KOPITIAM'.
Selama kasus tersebut berjalan diadili oleh 5 hakim agung, antara lain Prof Dr Vallerina JL Kriekhoff Syamsul sebagai ketua majelis dan Syamsul Ma'arif PhD, I Made Tara dan Mahdi Soroinda Nasution dengan Dr Nurul Elmiyah selaku hakim anggota. Keputusan yang diketok pada 20 Maret 2013 oleh hakim agung tidak satu suara antara ketiganya mengenai hak merek KOPITIAM yang dimiliki oleh Alex. Syamsul menilai Kopitiam tidak bisa diberikan hak ekslusif, sebab tertulis "Kata 'KOPITIAM' adalah kata yang secara umum digunakan oleh masyarakat Melayu untuk sebuah kedai yang menjual kopi sehingga semua kedai kopi pada dasarnya berhak menggunakan kata tersebut untuk melengkapi merek dagangnya.”
Kasus ini selanjutnya menimpa Phiko Leo Putra sebagai pemilik kedai Lau's Kopitiam. Phiko memiliki alasan yang merujuk kepada keputusan Intelectual Poperty Office of Singapore (Kantor HAKI Singapura) dalam perkara Pasific Rim Industries Inc melawan Valentinin Globe BV. Dewan Pariwisata Singapura mengakui bahwa bahasa adalah hidup dan secara konstan berkembang dalam negara yang memiliki ras sangat banyak seperti Singapura yang kaya akan dengan berbagai bahasa dan budaya. Kopitiam diakui sebagai kata lokal baru yang terbentuk dari gabungan dan kombinasi tempat makan yang memiliki kios minum yang menyediakan minuman serta kedai yang menyediakan makanan.
Setelah dilakukan berbagai cara, gugatan dari Phiko tetap saja kandas, begitu juga nasib pemilik kedai kopitiam lainnya. Majelis PK yang diketuai Syamsul Ma'arif PdD dengan anggota Prof Dr Takdir Rahmadi dan Hamdi menyatakan Lau's Kopitiam memiliki persamaan dengan KOPITIAM dan mengadili Phiko untuk segera mengganti merek kedainya. Namun hal yang menarik perhatian dimana Syamsul dalam putusan gugatan pemilik kopitiam lainnya merupakan hakim agung yang tidak setuju KOPITIAM sebagai kata yang bisa diberikan hak ekslusif.
Selain itu masih ada lagi pemilik kopitiam yang juga melawan Alex, yaitu QQ Kopitiam. Namun, terjadi lagi Alex menang sehingga QQ Kopitiam harus mengganti namanya dan tidak boleh menggunakan merek Kopitiam lagi. Pihak lainnya yang juga tidak diterima gugatannya oleh majelis hakim adalah gugatan dari Perhimpunan Pengusaha Kopi Tiam Indonesia (PPKTI), dimana majelis hakim menilai gabungan pengusaha warung Kopi Tiam tak memiliki legal standing  karena PPKTI hanya dapat menunjukkan akta pendiriannya yang didirikan pada 3 Mei 2011 yang belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 1653-1665 KUH Perdata.


PEMBAHASAN
Kasus hak merek terkenal beberapa kali terjadi di Indonesia, bukan hanya merek Kopitiam saja. Kasus lain juga pernah terjadi seperti merek Cardinal dan merek Cardinar. Merek Cardinal menggugat merek Cardinar dikarenakan adanya kesamaan pada pokoknya.
Jika kembali mendalami seperti tertulis dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, maka hakim menafsirkan penjelasan mengenai merek terkenal sehingga timbul perbedaan pertimbangan hakim terhadap merek biasa dan merek yang terkenal. Kasus-kasus yang telah terjadi dimana merek biasa hakim mempertimbangkan persamaan pada pokoknya atau
persamaan keseluruhan, sedangkan untuk merek terkenal hakim mempertimbangkan adanya pembuktian dengan adanya pendaftran merek diberbagai negara.
Berdasarkan kasus Kopitiam tadi, mengenai penggunaan kata yang sudah umum menjadi merek terkenal yang memiliki hak ekslusif bahwa seharusnya kata KOPITIAM tidak bisa digunakan sebagai merek salah satu kedai kopi saja, karena merupakan sebuah kata yang sudah umum. Pandangan berbagai pihak terhadap Abdul Alex Soelystio yang terlalu kapitalis untuk mempertahankan merek KOPITIAM sebagai hak ekslusif pribadi.
Kasus-kasus merek yang terjadi di Indonesia seperti merek Kopitiam, juga kasus merek Cardinal menjadi bukti bahwa perlindungan terhadap merek sangatlah penting dalam membangun usaha yang kuat dan tidak mudah dijatuhkan oleh berbagai pihak karena memiliki landasan hukum yang dimiliki oleh merek tersebut. Pemerintah seharusnya lebih memperjelas mengenai kriteria merek yang layak mendapatkan hak ekslusif, sehingga tidak terjadi kasus-kasus mengenai merek terkenal atau merek yang diambil dari kata yang sudah umum dikalangan masyarakat. Hal yang juga perlu diperhatikan oleh pemilik usaha tertentu bahwa jika ingin membuat sebuah merek sebaiknya terlebih dahulu dipastikan apakah merek yang digunakan masih belum digunakan atau belum memiliki hak ekslusif oleh pihak lain. Apabila sudah dipastikan ternyata belum digunakan oleh pihak lain, maka segeralah untuk mengurus merek tersebut agar memiliki hak ekslusif sesuai kriteria yang berlaku sehingga tidak terjadi lagi kasus merek yang menimpa pihak-pihak tertentu.


                                                                                                Nama : Arif Junisman Mendrofa
                                                                                                NPM : 31413323
                                                                                                Kelas : 4ID06


Sumber:
Janed Rahmi, 2006, Hak kekayaan Intelektual (Penyalahgunanan hak Ekslusif), FH Unair,
Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar